Pada tahun 570 A.D., di Mekah, Arabia, seorang
janda muda bernama Amina melahirkan anak laki yang diberi nama
olehnya Kotham sesuai tradisi bangsanya. Lima puluh tahun kemudian,
ketika anak laki ini hijrah ke Medinah, dia akan mengganti namanya
dengan nama “Muhammad” (yang terpuji) sebagai nama pujian diri,
dan dia terkenal dengan nama itu sampai hari ini. Meskipun Muhammad
adalah anak2 Amina satu2nya, tapi Amina menyerahkan dirinya
kepada seorang wanita Bedouin untuk dibesarkan di padang pasir kala
Muhammad masih berusia 6 bulan.
Beberapa wanita kaya Arab kadangkala menyewa
wanita2 lain untuk menyusui bayi2 mereka. Hal ini memungkinkan
wanita kaya itu untuk tidak menyusui dan bisa punya anak lagi
dengan cepat. Lebih banyak anak berarti lebih tinggi status
sosialnya. Tapi bukan ini yang terjadi pada Amina janda miskin yang
hanya punya satu anak untuk diurus. Abdullah, ayah Muhammad,
meninggal enam bulan sebelum Muhammad lahir. Juga kebiasaan ini
tidak terlalu sering dilakukan. Lihat misalnya Khadijah, istri
pertama Muhammad, yang merupakan wanita terkaya di Mekah. Dia punya
tiga anak dari perkawina sebelumnya dan tujuh anak dari
perkawinannya dengan Muhammad, dan dia merawat mereka semua seorang
diri.
Mengapa Amina menyerahkan anak satu2nya untuk
dibesarkan orang lain? Hanya ada sedikit keterangan bagi kita untuk
mengerti tentang ibu Muhammad dan keputusan yang diambilnya.
Keterangan menarik yang menunjukkan keadaan
psikologi Amina dan hubungannya dengan bayinya adalah Amina tidak
menyusui Muhammad. Setelah Muhammad lahir, dia diserahkan kepada
Thueiba, yang adalah pelayan paman Muhammad yang bernama Abu Lahab
(orang yang sama yang dikutukinya di Sura 111 di Qur’an, sekalian
juga dengan istrinya), untuk disusui. Tidak ada keterangan mengapa
Amina tidak menyusui anaknya. Yang bisa kita lakukan adalah
menduga. Apakah dia mengalami tekanan bathin karena menjanda di
usia mudanya? Apakah dia pikir anaknya merupakan halangan baginya
untuk menikah lagi?
Kematian anggota keluarga dapat mengakibatkan
perubahan kimia dalam otak yang mengakibatkan tekanan jiwa
(depresi). Sebab lain yang mengakibatkan dapat wanita mengalami
tekanan jiwa adalah: hidup sendirian, gelisah tentang keadaan
janinnya, masalah perkawinan atau keuangan dan usia muda ibu. Amina
baru saja kehilangan suaminya, dia hidup sendiri, miskin, dan
muda. Berdasarkan keterangan yang ada, dia tampaknya mengalami
tekanan jiwa. Hal ini dapat menganggu kemampuan ibu untuk
menumbuhkan ikatan bathin dengan bayinya. Juga, tekanan jiwa selama
mengandung dapat pula mengakibatkan ibu mengalami tekanan jiwa
berikutnya setelah melahirkan bayi (postpartum depression)..
Beberapa penyelidikan ilmiah menunjukkan bahwa
tekanan jiwa yang dialami ibu mengandung dapat berakibat langsung
pada janin. Bayi2 yang lahir biasanya menjadi cepat marah dan
lamban. Bayi2 ini dapat tumbuh menjadi anak2 balita yang lamban
belajar dan tidak bereaksi secara emosional, ditambah masalah
kelakuan, misalnya suka melakukan kekerasan.
Muhammad tumbuh diantara orang2 asing.
Sewaktu dia besar, dia sadar bahwa dirinya bukanlah anggota
keluarga yang mengurusnya. Dia semestinya heran mengapa ibunya,
yang hanya mengunjunginya dua kali setahun, tidak menginginkannya.
Halima adalah wanita yang menyusui Muhammad.
Enam puluh tahun berikutnya terungkap bahwa awalnya Halimah tidak
mau mengurus Muhammad karena dia anak yatim dari janda miskin. Tapi
akhirnya Halimah mau mengurus Muhammad karena dia tidak
mendapatkan anak dari keluarga kaya, dan keluarganya sendiri
sangat butuh uang meskipun sedikit sekalipun. Apakah ini tampak
pada cara Halimah mengurus bayi itu? Apakah Muhammad merasa tidak
dikasihi di keluarga angkatnya selama tahun2 awal penting yang
menentukan sifat seseorang?
Halima melaporkan bahwa Muhammad adalah anak
yang penyendiri. Dia suka hidup dalam dunia khayalannya sendiri dan
bercakap-cakap dengan teman2 khayalannya yang tidak bisa dilihat
orang lain. Apakah ini reaski dari anak yang tidak dikasihi di
dunia nyata sehingga dia menciptakan khayalannya sendiri untuk
menghibur dirinya dan merasa dikasihi?
Kesehatan mental Muhammad mengkhawatirkan ibu
asuhnya sehingga dia mengembalikan Muhammad kepada ibunya Amina
ketika berusia lima tahun. Karena masih belum punya suami
baru, Amina ragu2 untuk menerima kembali anaknya sampai Halima
menceritakan padanya kelakuan dan khayalan Muhammad yang aneh. Ibn
Ishaq mencatat kata2 Halima:
Ayahnya (ayah dari anak laki Halima
satu2nya) berkata kepadaku, “Aku takut anak ini mengalami serangan
jantung, maka bawalah dia kembali ke keluarganya sebelum terjadi
akibat buruk”… Dia (ibu Muhammad) menanyakan padaku apa yang
terjadi dan terus menggangguku sampai aku menceritakan padanya.
Ketika dia bertanya apakah aku takut anaknya (Muhammad) kerasukan
setan, maka kujawab iya.
Adalah normal bagi anak2 untuk melihat monster
di bawah tempat tidur mereka dan bicara dengan orang2 khayalannya.
Tapi kasus Muhammad tentunya langka dan mengkhawatirkan. Suami
Halima berkata, “Aku takut anak ini mengalami serangan jantung.”
Keterangan ini penting. Bertahun-tahun kemudian, Muhammad bicara
tentang pengalaman masa kecilnya yang aneh:
Dua orang berpakaian putih datang padaku
dengan baskom emas penuh salju. Mereka memegangku dan membelah
tubuku dan mengambil dari dalam tubuhku gumpalan hitam yang lalu
mereka buang. Lalu mereka mencuci jantung dan tubuhku dengan salju
sampai murni.
Sudah jelas bahwa kekotoran pikiran tidak
tampak sebagai gumpalan dalam jantung. Meskipun nyatanya anak2
tidak berdosa, dosa sendiri tidak dapat dihilangkan lewat operasi
bedah dan salju bukanlah bahan pembersih yang baik. Cerita ini
sudah jelas hanyalah khayalan dan halusinasi saja.
Muhammad sekarang hidup lagi bersama ibunya,
tapi ini tidak berlangsung lama. Setahun kemudian Amina meninggal.
Muhammad tidak banyak bicara tentang ibunya. Ketika Muhammad
menaklukkan Mekah, lima puluh tahun setelah kematian ibunya, dia
mengunjungi kuburan ibunya di Abwa yang terletak diantara Mekah dan
Medinah.
Ini adalah kuburan ibuku; Tuhan mengijinkanku
untuk melawatnya. Aku ingin berdoa baginya, tapi tidak dikabulkan.
Maka aku memanggil ibu untuk mengenangnya dan ingatan lembut
tentang dirinya menyelubungiku, dan aku menangis.
Mengapa Tuhan tidak mengabulkan Muhammad
berdoa bagi ibunya? Apa yang dilakukan Amina sehingga dia tidak
layak untuk dimaafkan? Ini sungguh tidak masuk akal. Sudah jelas
Tuhan tidak ada hubungannya dengan hal ini. Muhammad sendirilah
yang tidak bisa memaafkan ibunya, bahkan separuh abad setelah dia
mati. Dia mungkin mengingatnya sebagai wanita yang dingin dan tidak
sayang anak, sehingga Muhammad tidak menyukainya dan mengalami
luka bathin yang tidak pernah sembuh.
Muhammad kemudian hidup bersama kakeknya
selama dua tahun. Kakeknya yang telah ditinggal mati putranya,
sangat memanjakan Muhammad. Ibn Sa’d menulis bahwa Abdul Muttalib
sangat memperhatikan Muhammad lebih banyak daripada memperhatikan
putra2nya sendiri. Muir dalam Biography of Muhammad menulis: “Anak itu dirawat
dengan penuh kasih sayang olehnya. Sebuah karpet biasa dibentang di
bawah bayang2 Ka’bah, dan di situ orang tua (kakek Muhammad) itu
berbaring terlindung dari terik matahari. Di sekitar karpet, dengan
jarak yang tidak jauh, duduklah putra2nya. Muhammad kecil berlari
mendekat pada kakeknya dan mengambil karpet tersebut. Putra2nya
hendak mengusirnya pergi, tapi Abdul Muttalib mencegahnya dan
berkata: “Jangan larang putra kecilku.” Dia lalu mengelus
punggungnya karena merasa girang melihat tingkah lakunya yang
kekanakan. Anak laki ini masih diurus ibu asuhnya yang bernama
Baraka, tapi Muhammad selalu lari darinya dan pergi ke tempat
tinggal kakeknya, bahkan jika dia sedang sendirian dan tidur.
Muhammad ingat perlakuan penuh kasih sayang
yang diterimanya dari Abdul Muttalib. Sambil tak lupa membumbui
dengan khayalannya sendiri, dia di kemudian hari berkisah bahwa
kakeknya biasa berkata, “Biarkan dia karena dia punya nasib yang
hebat, dan akan menjadi pewaris kerajaan;” dan berkata pada Baraka,
“Awas, jangan sampai dia jatuh ke tangan orang2 Yahudi dan
Kristen, karena mereka mencarinya dan akan melukainya!”
Akan tetapi, tiada seorang pun yang ingat perkataan ini karena
sebenarnya paman2nya tidak percaya perkataannya, kecuali Hamza yang
berusia sepantar dengan Muhammad. Abbas juga di kemudian hari
bergabung dengan Muhammad, tapi itu terjadi setelah bintang
Muhammad bersinar dan dia dan pasukannya berada di depan Mekah
untuk siap menyerang.
Nasib sekali lagi tidak berpihak pada
Muhammad. Hanya dua tahun setelah dia hidup bersama kakeknya, sang
kakek meninggal dunia di usia delapan puluh dua tahun dan Muhammad
lalu diasuh oleh pamannya Abu Talib.
Muhammad merasa sedih karena kehilangan kakek
yang mengasihinya. Ketika dia berada di penguburan jenazah di
Hajun, dia menangis. Bertahun-tahun kemudian dia masih mengenang
kakeknya.
Abu Talib mengasuh Muhammad dengan penuh kasih
pula. “Kasih sayangnya pada Muhammad sama besarnya seperti kasih
sayang Abdul Muttalib padanya,” tulis Muir. “Dia mengijinkannya
tidur di atas ranjangnya, makan di sisinya, dan pergi bersamanya ke
luar negeri. Dia terus memperlakukan Muhammad dengan lembut sampai
Muhammad dewasa.”
Ibn Sa’d mengutip Waqidi yang mengisahkan bahwa Abu Talib,
meskipun tidak kaya, mengasuh Muhammad dan mencintainya lebih dari
anak sendiri.
Karena kehilangan orang2 yang dikasihinya
secara berturut-turut di masa kecilnya, Muhammad takut ditinggalkan
dan kejadian ini tentunya berdampak emosi kuat. Hal ini tampak
jelas dalam kejadian di waktu dia berusia 12 tahun. Suatu hari, Abu
Talib hendak pergi ke Syria untuk berdagang. Dia tidak membawa
Muhammad pergi. “Tapi ketika kafilah sudah siap berangkat, dan Abu
Talib siap menaiki untanya, keponakannya yang tidak mau ditinggal
lama memeluknya erat2. Abu Talib terharu dan membawa dia pergi
bersamanya.” Eratnya hubungan Muhammad dan pamannya menunjukkan Muhammad selalu takut kehilangan orang2 yang dikasihinya.
Meskipun Abu Talib merawatnya dengan penuh
kasih dan terus membela Muhammad sampai ajal, mengasihinya lebih
dari anak sendiri, pada akhirnya Muhammad terbukti sebagai
keponakan yang tak tahu terima kasih. Ketika pamannya hampir ajal
di ranjang, Muhammad menengoknya. Semua putra2 Abu Muttalib juga
ada di situ. Abu Talib selalu memikirkan kebaikan bagi Muhammad dan
dia meminta dengan tulus pada saudara2 lakinya untuk melindungi
Muhammad yang sekarang berusia 53 tahun. Mereka berjanji untuk
melakukannya, termasuk Abu Lahab, yang dikutuki Muhammad dalam
Qur’an. Setelah itu Muhammad meminta pamannya masuk Islam.
Muhammad sadar bahwa pengikut2nya adalah
orang2 lemah dari kalangan rendah. Untuk mendongkrak keberadaannya,
dia butuh orang berpengaruh masuk Islam. Ibn Ishaq menulis:
“Ketika orang2 datang di perayaan2, atau ketika sang Rasul
mendengar ada orang penting yang hendak berkunjung ke Mekah, dia
akan mendatangi orang itu dan menyampaikan pesannya.”
Tulisan sejarah juga mengisahkan pada kita bahwa Muhammad sangat
girang luar biasa ketika Abu Bakr dan Omar menjadi pengikutnya.
Jika Abu Talib bersedia masuk Islam, maka Muhammad akan tampak
lebih terhormat diantara para pamannya dan masyarakat Quraish. Suku
Qurasih adalah suku Arab yang tinggal di Mekah dan penjaga
bangunan Ka’abah. Muhammad sangat butuh pengakuan kebenaran
agamanya dari Abu Talib. Akan tetapi sang paman tersenyum dan
berkata bahwa dia lebih memilih mati dengan agama kakek moyangnya.
Maka punahlah harapan Muhammad. Dia lalu meninggalkan ruangan
sambil berkata: “Aku ingin berdoa baginya, tapi Allâh melarangku.”
Sukar dipercaya bahwa Allah
melarang nabinya meminta ampun bagi orang yang membesarkannya,
melindunginya sampai ajal, dan berkorban begitu banyak baginya.
Kalau memang Tuhan berbuat demikian, hal ini akan menurunkan
derajat Tuhan sedemikian rupa sehingga tak layak disembah.
Pengorbanan Abu Talib dan keluarganya demi kepentingan Muhammad
sangatlah banyak. Meskipun tidak percaya akan Islam, Abu Talib
berdiri bagaikan batu tegar menghadapi seluruh rakyat Quraish untuk
membela Muhammad dari segala ancaman yang ada dan selama 38 tahun
dia terus menjadi pendukung Muhammad tanpa henti. Meskipun begitu,
Muhammad bukanlah keponakan yang tahu balas budi. Ketika Abu Talib
tidak mau masuk Islam, Muhammad merasa begitu ditolak sehingga dia
tidak mau mendoakan pamannya yang hampir ajal.
Tidak banyak yang terjadi di masa muda
Muhammad dan tidak ada hal yang dianggap penting dicatat oleh
penulis kisah hidupnya. Dia dikabarkan adalah orang yang pemalu,
pendiam dan tidak terlalu suka berhubungan sosial. Meskipun
disayang dan dimanja pamannya, Muhammad tetap peka dengan statusnya
sebagai anak yatim piatu. Kenangan masa kecil yang sepi dan tanpa
kasih terus menghantui sepanjang hidupnya.
Tahun2 berlalu. Muhammad tetap saja suka
menyendiri dan lebih memilih hidup di dunianya sendiri, bahkan jauh
dari orang2 yang dikenalnya. Bukhari menulis bahwa Muhammad “lebih pemalu daripada perawan wanita bercadar.”
Dia tetap saja begitu seumur hidupnya, tidak percaya diri dan
pemalu. Dia berusaha mengatasinya dengan membesarkan, menyombongkan
dan memuja-muja diri sendiri.
Muhammad tidak melakukan pekerjaan apapun yang
penting. Saat2 tertentu dia menggembalakan kambing, dan ini
sebenarnya adalah pekerjaan kaum perempuan dan dianggap bukan
kerjaan lelaki oleh orang2 Arab. Bayarannya rendah dan dia
bergantung pada kemurahan hati pamannya.
0 Saran Dan Kritik:
Posting Komentar