Isu yang pertama adalah pentingnya kehidupan sosial. Islam, sebagaimana mazhab pemikiran yang lain, menekankan pentingnya kehidupan sosial. Namun lebih daripada itu, Islam menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar. Perhatian ini begitu pentingnya sehingga kadang-kadang kita harus mengorbankan semua harta bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang lain dari berbagai ancaman dan gangguan yang bersifat lahiriah atau batiniah, dari kesesatan dan kerusakan spiritual, dan dari kemalangan di akhirat. Nampaknya sejauh ini tidak ada mazhab pemikiran lain selain Islam yang telah mengajukan pemikiran ini. Tentu saja, kita percaya bahwa tidak ada agama samawi yang saling bertentangan dalam hal prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mendasar. Lazimnya, semuanya memiliki pandangan yang sama dengan Islam.
Isu yang kedua adalah diperlukannya hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam kekacauan, keburukan, dan kerusakan. Pandangan Islam tentang masalah ini juga jelas, dan tidak mengundang pertanyaan untuk penjelasan lebih lanjut. Namun demikian, kita perlu menyebutkan dua hal pokok. Yang pertama adalah bahwa dari perspektif Islam, tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial; karena, pertama, tanpa keadilan peraturan tersebut tidak akan bertahan dan pada umumnya, manusia selamanya tidak akan bisa menerima ketidakadilan dan penindasan; dan yang kedua, dalam masyarakat yang tidak diperintah dengan keadilan, kebanyakan orang tidak akan memperoleh kesempatan untuk menikmati kemajuan dan pembangunan yang diinginkan, dan karenanya tujuan penciptaan manusia tidak akan terwujud.
Hal pokok yang lainnya adalah bahwa dari sudut pandang Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual, karena dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia ini tak lain adalah suatu tahap persinggahan dalam keseluruhan rangkaian kehidupan manusia, yang singkat masanya namun memiliki peran yang fundamental bagi nasib manusia. Artinya, dalam masa inilah manusia dengan perilaku sadarnya harus mempersiapkan dirinya untuk memperoleh kebahagiaan atau siksa abadi. Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum tersebut harus disahkan. Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut
Pertama-tama, teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa tujuan dari hukum adalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, bukan untuk memberikan sesuatu yang benar-benar akan menguntungkan mereka. Kedua, karena mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu mengerikan.
Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang seperti itu.
Jelas bahwa mazhab-mazhab yang percaya pada tujuan-tujuan di luar nafsu binatang dan hasrat yang hina tersebut tidak akan bisa menerima pemikiran ini.
Berkenaan dengan pemikiran yang kedua, yaitu keabsahan pengambilan suara mayoritas pada saat tidak tercapai kesepakatan yang bulat, harus dikatakan bahwa hanya pada saat tidak adanya ketetapan ketuhanan dan kriteria ilmiah sajalah suara mayoritas bisa dijadikan kriteria untuk menetapkan suatu keputusan. Namun demikian, dalam sistem Islam, kriteria ketuhanan dan ilmiah semacam itu ada. Selain itu, biasanya kalangan minoritas yang memiliki kekuasaan, dengan menggunakan berbagai fasilitas untuk menebar propaganda, mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan berbagai pemikiran dan keyakinan orang lain, dan memang pada kenyataannya apa yang ditetapkan hanyalah kehendak dari minoritas yang terbatas namun berkuasa, bukanlah kehendak yang sesungguhnya dari semua orang atau mayoritas. Lebih jauh lagi, jika kriterianya adalah bahwa pilihan masyarakat tersebut akan sesuai untuk mereka sendiri, mengapa kita tidak juga menerima bahwa pilihan suatu kelompok minoritas juga sesuai untuk dirinya sendiri, walaupun hal tersebut akan menyebabkan munculnya sejenis otonomi? Dalam hal ini, apa yang menjadi justifikasi logis bagi pemerintah-pemerintah dalam menentang keinginan beberapa kelompok sosial yang mereka kuasai dengan paksa!?
Berkaitan deengan permasalahan ini, dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia. Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu. Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu. Namun demikian, hukum agama memberikan kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat. Jadi, paling tidak dengan mencermati batasan-batasan yang ditetapkan oleh kerangka umum ini, mungkin keterjatuhan ke jurang kebinasaan abadi bisa dihindari.
Isu yang keempat adalah siapa yang harus memberlakukan hukum sosial.
Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Kualifikasi yang lain, seperti kepandaian administratif, keberanian, dan sebagainya, bisa dianggap sebagai syarat pendukung. Lazimnya, yang ideal adalah bahwa orang yang menjalankan hukum tersebut harus secara umum tanpa ketidaktahuan, keegoisan, dan yang sejenisnya, dan ia adalah orang yang dalam termonologi religius disebut sebagai maksum (terlepas dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad saw dan penganut Syi'ah juga percaya pada kemaksuman para Imam as. Pada saat orang yang maksum tidak ada, dalam memilih pemimpin dan posisi di bawahnya dalam hirarki pemerintahan secara proporsional, kriteria semacam ini harus ditepati sejauh mungkin.
Pada dasarnya, landasan dari konsep Wilayat-e Faqih (lit., penjagaan jurisprudensi yang memenuhi semua persyaratan yang diperlukan) adalah suatu proposisi bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus menempati posisi orang yang maksum, yaitu pada posisi puncak piramida kekuasaan, sehingga posisi ini bisa ditempati oleh orang yang paling memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan dan dasar-dasar fundamentalnya, orang yang paling memiliki ketakwaan dan kontrol diri. Dengan kedua syarat dasar ini (jurisprudensi dan ketakwaan) nampaknya paling tidak ia tidak akan secara sengaja atau tidak sengaja, melanggar hukum Islam.
Hal lain yang bisa dibahas di sini adalah bahwa dari sudut pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Mahakuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukum-Nya. Jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukum-Nya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindakannya dan kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para Nabi dan penerus mereka yang terpilih (Imam maksum; ed.), tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi dan para Ma'shumin (orang-orang yang maksum). Nampaknya cara yang terbaik adalah dengan menyeleksi para ahli agama yang terpercaya (para ahli hukum yang takwa), lalu meminta mereka untuk memilih yang terbaik di antara mereka sendiri, karena para ahli bisa memilih orang yang terbaik dengan lebih tepat.
Cara penyelesaian seperti itu akan lebih aman dari terpilihnya orang yang lemah, baik secara disengaja atau tidak disengaja.
Juga jadi jelas bahwa bentuk politik Islam diturunkan dari elemen-elemen dasar pandangan dunia Islam dan pandangannya terhadap manusia. Artinya, penekanan pada sifat adil suatu hukum dan keselarasannya dengan peningkatan spiritual manusia berasal dari pandangan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan semua umat manusia agar manusia itu bisa mengikuti jalan peningkatan diri menuju kedekatan dengan Tuhan dan kebahagiaan abadi melalui keutamaan budi pekerti dalam kehidupan. Hak manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan untuk menikmati anugerah yang ada di dunia ini adalah agar semuanya bisa menapaki jalan peningkatan diri dengan cara yang lebih baik dan lebih cepat. Penerapan hukum-hukum ketuhanan dan prinsip-prinsip agama, baik jika diterapkan untuk individu atau untuk masyarakat adalah untuk menentukan landasan utama bagi jalan ini. Keahlian dalam bidang hukum dan ketakwaan selain kualifikasi administratif yang lainnya adalah untuk menjamin tercapainya kemajuan masyarakat secara umum, untuk mencapai kebahagiaan abadi, dan untuk mencegah penyimpangan yang disengaja atau yang tidak disengaja dari jalan jalan yang benar dalam kehidupan masyarakat.
Kita berharap bahwa Tuhan Yang Mahakuasa akan menganugerahkan kepada kita semua kesempatan untuk bersyukur kepada-Nya atas karunia berupa hukum-Nya dan petunjuk untuk menuju kehidupan yang penuh kebahagiaan yang kita cari.[]
Diterjemahkan oleh Anna Farida Anvari dari A Glimpse at the Political Philosophy of Islam dalam http://home.swipnet.se/islam/articles/
Sumber: www.icc-jakarta.com
0 Saran Dan Kritik:
Posting Komentar