IBX58B0693E37B6C

KONTAK SAYA

Facebook

TELUSURI

MULAI DARI SINI

Home Daftar Isi

BUDAYA ISLAM

Budaya Islam, Arab, dan Budaya Muslim

            Ini adalah salah satu lema diskusi yang belum habis dibahas. Apalagi bila ia terkait dengan sebagian syariat. Jilbab, misalnya. Ia berulang kali dikaitkan dengan masalah budaya masyarakat Arab, dan beberapa orang malah dengan yakin bilang bahwa ia bukan bagian dari wahyu. Pernyataan ini membawa konsekuensi logis sederhana: muslimah yang bukan orang Arab tak wajib mengenakan jilbab.
Nah, biasanya, tuduhan akan mengarah pada sekelompok muslim—biasanya yang rajin berkampanye tentang wajibnya jilbab bagi muslimah. Bahwa mereka berusaha menjadikan masyarakat Indonesia berkiblat pada Arab; tak mengusung budaya domestik yang, katanya, luhur.
Anggapan bahwa syariat ini—seluruh atau sebagiannya—merupakan produk budaya menurut saya ahistoris. Premis mana yang tertulis dalam al Quran dan as Sunnah yang menyebut bahwa syariat keislaman adalah syariat kearab-araban? Di bagian sejarah mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ummatnya mengikuti budaya Arab, sementara ia sendiri jadi bagian dari penghancur kebudayaan Arab yang penuh kesyirikan? Adakah ulama’ muslim yang mu’tabar, sejak zaman tabi’in hingga kini, yang menganggap Islam sama dengan Arab? Dalam hal apa?
Arab memang tak selalu Islam, dan Islam tak selalu Arab. Ini masalah logika sederhana. Kalau Islam memang selaras dan berasal dari budaya Arab, buat apa Abu Jahl bersipayah mengerahkan rakyatnya untuk memerangi utusan akhir zaman? Kalau memang Islam berakar dari budaya Arab, harusnya syariat ini juga didapati dalam kebudayaan masyarakat Arab jahiliyah. Nah, pertanyaannya, apakah aturan tentang jilbab, khamr, dan—yang terpenting—pengesaan terhadap Allah juga ditemui dalam kebudayaan tersebut?
Lho? Bukankah masyarakat Arab juga melaksanakan haji—dan, otomatis, qurban?
Betul. Haji merupakan bagian dari syariat Ibrahim ‘alaihissalam; dan menurut keterangan Syaikh Shafiyyurrahman al Mubarakfury di ar Rahiqil Makhtum, masyarakat Arab senang diidentifikasi sebagai pewaris kekasih Allah itu.
Masalah terkait haji ini bisa dipahami melalui salah satu sumber hukum yang disebut syar’u man qablana (syariat orang sebelum kita). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan sebuah syariat dari nabi sebelumnya sah berlaku, maka jadilah syariat itu bagian dari syariat Islam. Ini juga tak meninggalkan fakta bahwa setiap nabi yang tersebut dalam al Quran memiliki millah yang sama (QS 12:38). Plus, kata-kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendapati Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu membuka shuhuf Taurat, “Sekiranya Musa (‘alaihissalam) hidup di masaku, niscaya ia akan mengikutiku.”
Saya lihat, masalahnya ada pada khayalan sebagian orang belaka. Ringkasnya begini: orang yang mengklaim antibudaya Arab ternyata adalah pencipta kategorisasi kebudayaan Arab itu sendiri. Mereka menunjuk syariat ini dan itu sebagai bagian dari budaya Arab, dan pada saat nyaris bersamaan menyebut budaya Arab bukanlah budaya Islam. Maka, pada dasarnya, mereka tidak hanya antibudaya Arab, tapi juga bersikap kontra terhadap apa yang secara sepihak mereka kategorikan sebagai budaya Arab. Dengan kata lain, mereka mengeluarkan syariat tertentu dari ruang lingkup keislaman.
Contohnya bisa kita dapati dari orang yang sedang hangat diperbincangkan: Irshad Manji. Dalam Allah, Liberty, and Love, ia berkata,
Muslim tidak diidentifikasikan dengan Islam? Jelas itu tidak logis. Aku setuju kalau teori Islam, sebagaimana teori Marxisme, berbeda dari apa yang kebanyakan dilakukan oleh praktisinya. Namun, nilai dari teori itu terbatas jika tidak diterjemahkan ke dalam bentuk perilaku. Sebenarnya, Islam adalah apa yang dibentuk oleh kita sebagai muslim. Seandainya muslim tidak ada hubungannya dengan Islam, maka kita tidak bisa menyelamatkan Islam dari kerusakan. Pendekatanmu tidak menawarkan harapan. Untungnya, Nabi Muhammad punya gagasan lain. Menurut sebuah riwayat, beliau bertanya, “Apakah agama itu?” Dan beliau menjawab, “Agama adalah cara kita berperilaku dengan orang lain.” Sesuai definisi tersebut, bagaimana kita, muslim, berperilaku, maka itulah Islam. –p.59
Pertama, pernyataan di paragraf tersebut kontradiktif. Di awal, Manji setuju bahwa kadang teori Islam tak sesuai dengan kebanyakan praktisi muslim. Di akhir, ia berkata bahwa Islam adalah bagaimana muslim berperilaku. Jadi, gambaran ideal seperti apa yang dibayangkan oleh Manji? Di mana, kemudian, implementasi dari QS 4:59?
Kedua, saya belum menemukan hadis yang dibilang Manji itu. Mungkin ada yang bisa bantu carikan referensi?
Begitulah. Secara kasar, kita bisa menyaksikan mereka yang enggan melaksanakan apa yang telah digariskan oleh Allah menjadikan argumen “budaya Arab” sebagai dalih apologis atas pengingkarannya terhadap syariat Allah. Di sini, saya tak butuh klaim-klaim kecintaan seseorang pada rabbnya setelah QS 3:31.
Celakanya, kerancuan dalam memahami mana yang budaya Islam dan mana yang tidak sudah cukup luas. Silakan ketikkan keyword “budaya Islam” di google. Yang akan banyak ditemui adalah produk budaya pemeluk Islam. Bukan budaya yang murni berasal dari ideologi Islam.
Ini mengingatkan saya pada kuliah Budaya Nusantara semester lalu yang memaksa saya (sebab protes pun tak akan mengubah silabus dan materi ujian) memahami bahwa yang disebut “budaya Islam” adalah budaya berupa tarian, lagu, dan produk kesenian lainnya dari suku-suku yang mayoritas warganya memeluk Islam. Nah, logikanya sama dengan logika Irshad Manji kan?
Mengapa secara implisit saya katakan itu salah? Well, dalam sebagian (besar?) bentuk kesenian tersebut, ada sebagian aurat seseorang—apalagi wanita—yang terbuka. Bukankah menampilkan perhiasan seorang wanita itu masuk kategori tabarruj? Dan bukankah tabarruj itu jelas terlarangnya dalam al Quran? Maka, masihkah kita meletakkan budaya yang melanggar (sebagian) syariat Allah itu sebagai budaya Islam?
Dari sini mungkin akan timbul pertanyaan: jadi bagaimana cara kita mengidentifikasi mana yang budaya Islam dan mana yang tidak?
Jawabnya ringkas: al Quran dan as Sunnah. Mari memperjelasnya dengan contoh kasus. Pertama, apakah gamis—jubah panjang yang biasa dikenakan lelaki Arab—adalah budaya Arab? Kedua, apakah perayaan maulid itu merupakan budaya Islam? Ketiga, apakah jilbab juga merupakan budaya Arab?
Pertama, gamis itu memang budaya Arab meski dikenakan oleh Rasul, sahabatnya, dan para pengikutnya yang tinggal di tanah Arab dan sekitarnya. Tapi sejak Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam turun, ia sudah jadi bagian dari tradisi setempat, dan ia tak muncul setelah munculnya Islam. Pembedanya adalah panjang jubah tersebut. Kaum muslimin membedakan penampilannya dengan menarik jubah mereka di atas mata kaki. Sementara yang kafir, tidak.
Di masa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, aturan ini bertambah. Mereka yang kafir wajib mengenakan sabuk untuk mengikat jubahnya. Dan tata cara berpakaian ini tak boleh ditiru oleh kaum muslimin—mengingat aturan-aturan terkait tasyabbuh.
Kedua, perayaan maulid bukan merupakan budaya Islam. Mengapa? Karena ia tak tersebut dalam al Quran maupun as Sunnah. Pelopornya bukan nabi, sahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in. Kita akhirnya akan berpijak pada kredo terkenal ini: “lau kaana khairan, lasabaquuna ilaih. Jika hal itu baik, sungguh kami telah mendauluinya (dalam melakukannya).” Lagipula, kalau kita kukuh mempertahankan argumen bahwa ini merupakan budaya Islam, bukankah secara tak langsung kita menyebut nabi tak melaksanakan dan menyampaikan sebagian hal baik dari agama ini? Tentu itu adalah bentuk pengkhianatan seorang nabi terhadap QS 5:67.
Jadi apakah ia termasuk budaya Arab? Saya tidak bisa memberikan jawaban pasti. Sebab maulid sudah menyebar sedemikian luas sehingga tidak dapat diidentifikasi ia merupakan ciri khas kaum yang mana. Tapi, yang jelas, mengingat penjelasan dari paragraf sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa peringatan tersebut bukan bagian dari budaya Islam.
Ketiga, apakah jilbab merupakan bagian dari budaya Arab? Tidak. Sebelum Islam datang, wanita Arab tak mengenakan jilbab sebagaimana yang disyariatkan Nabi. Maka sibuklah muslimah Madinah untuk mencari segala jenis kain yang bisa digunakan untuk menutup aurat ketika perintah tersebut datang. Sebagaimana sibuknya masyarakat Madinah menumpahkan simpanan khamr milik mereka saat larangan meminumnya datang.
Jadi, jilbab merupakan murni perintah yang datang dari Allah, bukan produk budaya. Karena seandainya itu adalah produk budaya, tentu ia datang sebelum Islam datang. Atau, ia datang bersamaan dengan datangnya Islam—dengan asumsi para shahabat masih mencari rujukan lain dalam membentuk identitas diri; yang mana, sangat mustahil terjadi pada mereka.
Jadi demikianlah rambu-rambu dalam memahami; mana yang berasal dari Islam—dan karena itu disebut budaya Islam, dan mana yang berasal dari produk pemikiran pemeluk Islam. Ringkasnya, budaya selain Islam tak didapati sebelum Islam turun. Dan pertanda turunnya Islam adalah kedatangan wahyu yang terangkum dalam al Quran dan as Sunnah. Maka, hal-hal yang tak terdapat dalam al Quran dan as Sunnah tak dapat dinisbatkan pada Islam.
Hal-hal yang tak terdapat dalam keduanya itu, bila secara khas dilakukan oleh seorang/sekelompok muslim dan dianggap jadi budaya, bolehlah kiranya disebut sebagai budaya muslim. Sementara yang secara khas dilakukan oleh orang Arab, barulah bisa disebut sebagai budaya Arab.


0 Saran Dan Kritik:

Posting Komentar

loading...
 
© 2010-2015 Harian Islam Agama Ku
Desain by OTIN | Islam Agamaku | Powered by Harian Islam