IBX58B0693E37B6C

KONTAK SAYA

Facebook

TELUSURI

MULAI DARI SINI

Home Daftar Isi

Home » » Argumen Ketiga

Argumen Ketiga



                Muthahhari mengajukan argumen ketiganya dengan penegasan bahwa manusia  tidak  melakukan  sesuatu  apapun  yang  tidak  berkaitan  dengan semesta  dirinya.  Dia  menyangkal  prinsip  pengkhidmatan  dari  Allamah Thabathaba'I,  yang  menurutnya  tindakan  manusia  dibebankan  kepadanya oleh diri-diri yang lain. Mengelaborasi argumen ini dia mengambil jalan lain untuk  pembagian  tradisional  eksistensi  manusia  ke  dalam  dua  diri  :  satu, superior  (spiritual),  yang  lain  inferior  (jasmani).  Manusia  adalah  juga binatang, dan diri inferiornya (jasmani) diatur oleh hasrat-hasrat dan motif-motif kebinatangan. Moralitas berarti mensubordinatkan diri hewani kepada diri yang lebih tinggi. Apapun yang dilakukan karena diri yang lebih rendah bukanlah moral. Tindakan-tindakan moral mempunyai sumber mereka dala, diri yang lebih tinggi. Diri hewani adalah subyek bagi alam, sementara diri yang  lebih  tinggi,  yang  secara  universal  diberikan  kepada semua manusia, adalah subyek bagi sistem nilai yang lebih tinggi. Menurut Muthahhari, diri yang lebih tinggi bersifat universal dan nilai yang dibawahnya juga bersifat universal dan abadi. Dia ingin tahu mengapa Allamah lupa untuk merujuk kepada konsep ini, meskipun beliau dikenalkan dengannya. Dia mengatakan bahwa  seandainya  Allamah  merujuk  kepada  konsep  ini,  beliau  niscaya menerima  bahwa  tindakan-tindakan  moral  adalah  tindakan-tindakan  yang dilakukan karena kepuasan dari diri yang lebih tinggi. Dalam hal ini, niscaya beliau menolak doktrin relativisme moral juga prinsip pengkhidmatan.
Muthahhari juga sepakat dengan Allamah, Russell, dan yang lainnya bahwa baik dan buruk, 'seharusnya' dan 'tidak seharusnya' didasarkan kepada cintanya  manusia  kepada  tujuan  akhir  dan  ketidaksukaannya  akan  hal-hal lain. Dia bertanya,"tapi cinta dan benci yang mana yang merupakan kriteria baik  dan  buruk  ?"  Dia menjawab,  sekiranya  seseorang  mengatakan bahwa kriterianya  adalah  diri  yang  lebih  rendah  atau  diri  hewani  yang menyukai atau membenci suatu obyek sebagai standar moralitas, maka orang itu keliru, karena ia menafikan spirit moralitas yang azali. Kepentingan diri yang lebih rendah boleh jadi berbeda antara satu dengan individu lain, sehingga pada gilirannya tidak ada nilai moral yang universal dan abadi. Pada sisi lain, jika kita  percaya  bahwa  diri  yang  lebih  tinggi  merupakan  pijakan  moralitas, niscaya kita akan mengakui nilai-nilainya vakid secara universal dan abadi.
Muthahhari mengatakan, di akhir Akhlaq wa jawidanagi:  "Saya  ingin  merujuk  kepada  suatu  doktrin  Islam  yang  sangat signifikan untuk memecahkan isu moralitas, dan dilalaikan oleh para filosof. Yakni,  manusia  mempunyai  kemuliaan  dan  keunggulan  yang  halus  yang bisa didefinisikan sebagai suatu fakultas spiritual atau tanda Ilahiah. Setiap orang  secara  tidak  sadar  mengalaminya.  Ketika  melakukan  perbuatan-perbuatan  tertentu,  ia  merenungkan  apakah  perbuatan-perbuatan  tersebut sesuai  dengan  kemuliaan  yang  lembut  ataukah  tidak.  Kapanpun  ia menjumpai suatu perbuatan yang sesuai dengannya, ia mengakui perbuatan itu sebagai hal yang bagus dan bajik; jika tidak sesuai dengannya, dianggap buruk  atau  jahat.  Seperti  hewan  yang  tahu  apakah  itu  bermanfaat  atau berbahaya  bagi  mereka  masing-masing,  diri  manusia  yang  mempunyai kebajikan metafisik mengakui  apakah  kebaikan  itu  dan  apakah  keburukan itu,  apa  yang  harus  ia  lakukan  dan  mana  yang  seharusnya  tidak  ia lakukan.Manusia  diciptakan  sama,  sepanjang  fakultas  spiritual  dan kebajikan  pun  sama,  pandangan-pandangan  mereka  pun  sama.  Secara biologis dan filosofis manusia berbeda satu sama lain dan di bawah kondisi-kondisi  yang  beragam  kebutuhan-kebutuhan  fisik  mereka  pun  berbeda.
Namun  sepanjang  kemampuan  untuk  mencapai  sublimasi  spiritual diperhatikan,  pada  dasarnya mereka  sama  dan  perlu  mempunyai  kesukaan dan  ketidaksukaan  yang  sama  serta  standar  baik  dan  buruk  yang  sama. Semua  kebajikan moral,  baik  individu  maupun  sosial,  seperti  paitence(?), dapat dijelaskan dari pandangan ini."23
Muthahhari  menyimpulkan  bahwa  prinsip  yang  dikutipkan  di  atas menjelaskan  kriteria  baik  dan  buruk  juga  kebajikan  individual  dan  sosial, sebagaimana perbandingan atas semua teori moral yang dikutipkan di atas. Prinsip ini juga memberikan pijakan yang paling kokoh untuk mempercayai keabadian  dan  keuniversalan  nilai-nilai  moral.  Pandangan  filsafat  moral Muthahhari mempunyai  afinitas  yang  tipis  dengan  pemikir-pemikir  moral kontemporer  yang,  pada  umumnya,  menerima  sebagian  corak  relativisme. Filsafat  moralnya  juga  tidak  bermanfaat.  Meskipun  ia  tidak mengeluarkan unsur  manusia  dalam menentukan  kebaikan  dan  keburukan,  ia  tidak  dapat menyetujui  pendapat  dari  pemikir  Barat  tertentu  yang menganggap semua nilai moral sebagai mempunyai sumber mereka dalam pengalaman manusia dan kepentingan sosial serta individual. Moralitas dalam Islam mempunyai sumber  dan  pijakan  Ketuhanan  yang  hanya  dapat  diakses  oleh  diri  yang lebih  tinggi. Pandangan  filsafat  moral  Muthahhari  sesuai  dengan  ajaran Islam  dan  ia  telah menegaskannya  dengan  istilah  yang  sepadan dengan masalah-masalah kontemporer yang menghadang manusia.


0 Saran Dan Kritik:

Posting Komentar

loading...
 
© 2010-2015 Harian Islam Agama Ku
Desain by OTIN | Islam Agamaku | Powered by Harian Islam