Muthahhari mengajukan argumen ketiganya dengan penegasan bahwa manusia tidak melakukan sesuatu apapun yang tidak berkaitan dengan semesta dirinya. Dia menyangkal prinsip pengkhidmatan dari Allamah Thabathaba'I, yang menurutnya tindakan manusia dibebankan kepadanya oleh diri-diri yang lain. Mengelaborasi argumen ini dia mengambil jalan lain untuk pembagian tradisional eksistensi manusia ke dalam dua diri : satu, superior (spiritual), yang lain inferior (jasmani). Manusia adalah juga binatang, dan diri inferiornya (jasmani) diatur oleh hasrat-hasrat dan motif-motif kebinatangan. Moralitas berarti mensubordinatkan diri hewani kepada diri yang lebih tinggi. Apapun yang dilakukan karena diri yang lebih rendah bukanlah moral. Tindakan-tindakan moral mempunyai sumber mereka dala, diri yang lebih tinggi. Diri hewani adalah subyek bagi alam, sementara diri yang lebih tinggi, yang secara universal diberikan kepada semua manusia, adalah subyek bagi sistem nilai yang lebih tinggi. Menurut Muthahhari, diri yang lebih tinggi bersifat universal dan nilai yang dibawahnya juga bersifat universal dan abadi. Dia ingin tahu mengapa Allamah lupa untuk merujuk kepada konsep ini, meskipun beliau dikenalkan dengannya. Dia mengatakan bahwa seandainya Allamah merujuk kepada konsep ini, beliau niscaya menerima bahwa tindakan-tindakan moral adalah tindakan-tindakan yang dilakukan karena kepuasan dari diri yang lebih tinggi. Dalam hal ini, niscaya beliau menolak doktrin relativisme moral juga prinsip pengkhidmatan.
Muthahhari juga sepakat dengan Allamah, Russell, dan yang lainnya bahwa baik dan buruk, 'seharusnya' dan 'tidak seharusnya' didasarkan kepada cintanya manusia kepada tujuan akhir dan ketidaksukaannya akan hal-hal lain. Dia bertanya,"tapi cinta dan benci yang mana yang merupakan kriteria baik dan buruk ?" Dia menjawab, sekiranya seseorang mengatakan bahwa kriterianya adalah diri yang lebih rendah atau diri hewani yang menyukai atau membenci suatu obyek sebagai standar moralitas, maka orang itu keliru, karena ia menafikan spirit moralitas yang azali. Kepentingan diri yang lebih rendah boleh jadi berbeda antara satu dengan individu lain, sehingga pada gilirannya tidak ada nilai moral yang universal dan abadi. Pada sisi lain, jika kita percaya bahwa diri yang lebih tinggi merupakan pijakan moralitas, niscaya kita akan mengakui nilai-nilainya vakid secara universal dan abadi.
Muthahhari mengatakan, di akhir Akhlaq wa jawidanagi: "Saya ingin merujuk kepada suatu doktrin Islam yang sangat signifikan untuk memecahkan isu moralitas, dan dilalaikan oleh para filosof. Yakni, manusia mempunyai kemuliaan dan keunggulan yang halus yang bisa didefinisikan sebagai suatu fakultas spiritual atau tanda Ilahiah. Setiap orang secara tidak sadar mengalaminya. Ketika melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, ia merenungkan apakah perbuatan-perbuatan tersebut sesuai dengan kemuliaan yang lembut ataukah tidak. Kapanpun ia menjumpai suatu perbuatan yang sesuai dengannya, ia mengakui perbuatan itu sebagai hal yang bagus dan bajik; jika tidak sesuai dengannya, dianggap buruk atau jahat. Seperti hewan yang tahu apakah itu bermanfaat atau berbahaya bagi mereka masing-masing, diri manusia yang mempunyai kebajikan metafisik mengakui apakah kebaikan itu dan apakah keburukan itu, apa yang harus ia lakukan dan mana yang seharusnya tidak ia lakukan.Manusia diciptakan sama, sepanjang fakultas spiritual dan kebajikan pun sama, pandangan-pandangan mereka pun sama. Secara biologis dan filosofis manusia berbeda satu sama lain dan di bawah kondisi-kondisi yang beragam kebutuhan-kebutuhan fisik mereka pun berbeda.
Namun sepanjang kemampuan untuk mencapai sublimasi spiritual diperhatikan, pada dasarnya mereka sama dan perlu mempunyai kesukaan dan ketidaksukaan yang sama serta standar baik dan buruk yang sama. Semua kebajikan moral, baik individu maupun sosial, seperti paitence(?), dapat dijelaskan dari pandangan ini."23
Muthahhari menyimpulkan bahwa prinsip yang dikutipkan di atas menjelaskan kriteria baik dan buruk juga kebajikan individual dan sosial, sebagaimana perbandingan atas semua teori moral yang dikutipkan di atas. Prinsip ini juga memberikan pijakan yang paling kokoh untuk mempercayai keabadian dan keuniversalan nilai-nilai moral. Pandangan filsafat moral Muthahhari mempunyai afinitas yang tipis dengan pemikir-pemikir moral kontemporer yang, pada umumnya, menerima sebagian corak relativisme. Filsafat moralnya juga tidak bermanfaat. Meskipun ia tidak mengeluarkan unsur manusia dalam menentukan kebaikan dan keburukan, ia tidak dapat menyetujui pendapat dari pemikir Barat tertentu yang menganggap semua nilai moral sebagai mempunyai sumber mereka dalam pengalaman manusia dan kepentingan sosial serta individual. Moralitas dalam Islam mempunyai sumber dan pijakan Ketuhanan yang hanya dapat diakses oleh diri yang lebih tinggi. Pandangan filsafat moral Muthahhari sesuai dengan ajaran Islam dan ia telah menegaskannya dengan istilah yang sepadan dengan masalah-masalah kontemporer yang menghadang manusia.
0 Saran Dan Kritik:
Posting Komentar