IBX58B0693E37B6C

KONTAK SAYA

Facebook

TELUSURI

MULAI DARI SINI

Home Daftar Isi

Home » » Hukum Pernikahan Silang Antara Dua Bersaudara

Hukum Pernikahan Silang Antara Dua Bersaudara

Hukum Pernikahan Silang Antara Dua Bersaudara


Menikahi saudarinya istri saudara hukumnya mubah karena wanita tersebut tidak termasuk Mahram yang dilarang dinikahi dalam Islam.

Syariat telah menjelaskan sejumlah wanita yang dilarang dinikahi dalam ayat berikut;

"dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu milik (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. (An-Nisa; 22-24)

Semua wanita yang disebutkan dalam ayat di atas disebut dengan Mahram (istilah yang tepat adalah Mahram, bukan Muhrim, karena Muhrim bermakna orang yang berihram). Seluruh Mahram haram dinikahi dan berlaku hukum-hukum kemahroman yang lain seperti boleh dilihat lebih dari muka dan telapak tangan, menemani dalam perjalanan, dan sebagainya.

Dengan memahami ayat di atas sekaligus sejumlah Nash hadis yang lain, perincian wanita-wanita yang haram dinikahi dapat dijelaskan sebagai berikut;

1. Ibu (اْلأُمُّ): yakni wanita yang melahirkan kita, baik secara hakiki  yakni yang melahirkan secara langsung maupun majazi seperti  ibunya ibu, ibunya ayah, dua nenek ibu, dua nenek ayah, neneknya nenek, neneknya kakek, dan seterusnya ke atas tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan

2. Putri (الْبِنْتُ); yakni wanita yang lahir karena benih kita, baik secara hakiki yakni putri kandung maupun majazi seperti  putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan

3. Saudari (الأُخْتُ): baik saudari sekandung, seayah, maupun seibu. Saudari dari tiga arah seperti  ini semuanya termasuk Mahram yang haram dinikahi

4. Bibi Patriarkal (العَمَّةُ): yakni saudari ayah, baik status kekerabatan dengan ayah adalah saudari sekandung, saudari seayah, maupun saudari seibu. Termasuk definisi ini adalah saudari-saudari kakek, tanpa membedakan apakah kakek dari pihak ibu ataukah dari pihak ayah, kakek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi. Semuanya dihukumi Mahram yang haram dinikahi

5. Bibi Matriarkal (الْخَالَةُ);yakni saudari ibu, baik status kekerabatan dengan ibu adalah saudari sekandung, saudari seayah, maupun sudari seibu. Termasuk definisi ini adalah saudari-saudari nenek, tanpa membedakan apakah nenek dari pihak ibu ataukah dari pihak ayah, nenek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi. Semuanya dihukumi Mahram yang haram dinikahi karena setiap nenek adalah ibu, sehingga saudari nenek dihukumi bibi matriarkal yang haram dinikahi

6. Putrinya saudara (بِنْتُ اْلأَخِ); yakni keponakan/kemenakan perempuan, tanpa membedakan apakah keponakan tersebut adalah putrinya saudara kandung, saudara seayah ataukah saudara seibu. Putrinya saudara di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri kandung maupun majazi seperti  putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan

7. Putrinya saudari (بِنْتُ اْلأُخْتِ); yakni keponakan/kemenakan perempuan juga, tanpa membedakan apakah keponakan tersebut adalah putrinya saudari kandung, saudari seayah ataukah saudari seibu. Putrinya saudari di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri kandung maupun majazi seperti  putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan

8. Ibu Susu (الأُمُّ الْمُرْضِعُ): yakni wanita yang menyusui kita.  termasuk dalam definisi ini adalah ibunya ibu susu, neneknya ibu susu, demikian terus ke atas.

9. Saudari Susu (الأُخْتُ مِنَ الرَّضَاعَةِ). Ibu susu dihukumi seperti ibu kandung dalam hal kemahraman nikah. karena itu, wanita yang telah menyusui kita, berarti putri wanita tersebut adalah saudari kita yang haram dinikahi. Wanita yang disusui ibu kita, berarti wanita tersebut adalah saudari kita karena ibu kita adalah ibu susunya. Demikian pula jika kita menyusu pada seorang ibu susu asing dan ada wanita yang juga menyusu pada ibu susu asing tersebut, dalam kondisi ini wanita itu juga menjadi saudari kita yang haram dinikahi karena ibu susu kita dengan wanita tersebut adalah ibu susu yang sama. Bahkan pada kasus Laban Lahl/susu pria (لَبَنُ اْلفَحْلِ) hukum kemahroman tetap berlaku, meski beda yang menyusui. Maksud istilah Laban Fahl, ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang lelaki menikahi empat wanita kemudian masing-masing digauli sehingga punya anak dan menyusui. Kemudian ada empat bayi perempuan asing yang masing-masing menyusu pada empat istri lelaki tersebut, yakni satu bayi mendapat satu ibu susu. Lalu ada satu bayi laki-laki yang menyusu pada salah satu istri lelaki tersebut. Dalam kondisi ini, seluruh bayi wanita yang menyusu tadi statusnya adalah saudari bagi bayi lelaki yang menyusu yang haram dinikahi. Hal itu dikarenakan, meskipun yang menjadi saudari susu langsung bagi bayi lelaki tadi hanyalah satu bayi wanita (mengingat keduanya memiliki satu ibu susu yang sama), sementara tiga bayi wanita yang lain disusui ibu susu yang lain sehingga ibu susunya tidak sama dengan ibu susu bayi lelaki tersebut, namun tiga bayi wanita tersebut tetap dihukumi saudari karena seluruh wanita yang menyusui dalam kasus ini bisa menyusui hanya disebabkan oleh benih yang ditanamkan lelaki yang menjadi suaminya.  Jadi, meskipun air susu para wanita itu berbeda-beda, namun asalnya tetap satu, yakni benih suaminya. Karena suami yang “berperan” membuat air susu para wanita yang menjadi istrinya itu bisa keluar, maka “peran” ini dinamakan dengan istilah Laban Fahl (susu pria). Bukan susu dalam arti hakiki, tapi majazi. Yakni prialah yang membuat air susu wanita menjadi bisa keluar, sehingga seluruh susu yang terbit karena perannya ini semuanya dihukumi satu susu, walaupun keluar dari wanita yang berbeda-beda.

10. Ibu Mertua (أُمُّ الزَّوْجَةِ); yakni, ibu dari istri kita. Jika kita telah menikahi seorang wanita, maka ibu dari istri kita langsung menjadi Mahram kita baik ibu karena nasab maupun karena persusuan tanpa membedakan apakah ibu dekat ataukah ibu jauh. Hukum kemahroman langsung berlaku setelah akad nikah dilakukan, tanpa memperhetikan apakah istri sudah digauli ataukah tidak.

11. Putri Tiri (الرَّبِيْبَةُ); yakni putri-putri istri. Namun, syaratnya istri harus disetubuhi agar hukum kemahroman berlaku. Jika istri sesudah akad nikah belum digauli kemudian dicerai, maka putri tiri belum menjadi Mahram sehingga boleh dinikahi. Putri tiri ini tidak dibedakan apakah putri karena nasab ataukah putri karena persusuan, juga tidak membedakan apakah putri dekat ataukah putri jauh, juga tidak membedakan apakah putri yang mewarisi ataukah tidak.

12. Menantu Putri (حَلِيْلَةُ اْلابْنِ); yakni istrinya putra dan juga istri dari putranya putri, tanpa membedakan apakah dari nasab ataukah persusuan, dekat ataukah jauh. Hukum kemahroman ini berlaku hanya dengan dilakukannya akad nikah, tanpa memperhatikan apakah wanita sudah digauli ataukah belum.

13. Ibu tiri (زَوْجَةُ اْلأَبِ); yakni istri ayah, baik ayah dekat maupun ayah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi, karena nasab ataukah karena persusuan.  Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memerintahkan kepada seorang shahabat untuk membunuh lelaki yang menikahi istri ayahnya (ibu tirinya). An-Nasai meriwayatkan;

Dari Al Barra', ia berkata; saya berjumpa dengan pamanku, dan ia membawa bendera. Kemudian saya katakan; engkau hendak pergi kemana? Ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi isteri ayahnya setelah kematiannya, agar saya penggal lehernya atau saya membunuhnya. (H.R. An-Nasai)

14. Menghimpun dua saudari (الْجَمْعُ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ): yakni menikahi dua bersaudari untuk dipoligami, tanpa membedakan apakah saudari karena nasab ataukah karena persusuan, juga tidak membedakan apakah  saudari sekandung, seayah, atau seibu, juga tidak membedakan apakah menghimpun tersebut setelah menggauli istri yang sah ataukah belum.

15. Menghimpun wanita dengan bibinya (الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا أَوْخَالَتِهَا): yakni menikahi seorang wanita dengan dipoligami bersama bibinya. Larangan ini berlaku tanpa membedakan apakah bibi yang dimaksud adalah bibi patriarkal ataukah bibi matriarkal. Dasarnya adalah hadis berikut ini;

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah.” (H.R. Bukhari)

Lafadz Abu Dawud berbunyi;

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ayah), dan seorang bibi dinikahi sebagai madu anak wanita saudara laki-lakinya, dan tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ibu) dan seorang bibi sebagai madu bagi anak wanita saudara wanitanya. Dan tidak boleh seorang kakak wanita dinikahi sebagai madu adik wanitanya, dan adik wanita dinikahi sebagai madu kakak wanitanya.” (H.R. Abu Dawud)

16. Wanita yang telah bersuami (الْمُحْصَنَةُ):  yakni wanita yang telah menjalin akad nikah secara sah, meskipun dengan syariat di luar Islam seperti pernikahan  wanita Yahudi atau wanita Nasrani.

17.Semua wanita yang ada hubungan kekerabatan karena persusuan: misalnya ibu susu, putri karena persusuan, saudari karena persusuan, bibi karena persusuan, putri saudara karena persusuan, putri saudari kerana persusuan, dst. Dasarnya adalah hadis berikut ini;

Dari ‘Amrah bahwasannya Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sampingnya, sedangkan dia (‘Aisyah) mendengar suara seorang laki-laki sedang minta izin untuk bertemu Rasulullah di rumahnya Hafshah, ‘Aisyah berkata; Maka saya berkata; “Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki yang minta izin (bertemu denganmu) di rumahnya Hafshah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya kira fulan itu adalah pamannya Hafshah dari saudara sesusuan.” Aisyah bertanya; “Wahai Rasulullah, sekiranya fulan tersebut masih hidup -yaitu pamannya dari saudara sesusuan- apakah dia boleh masuk pula ke rumahku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, sebab hubungan karena susuan itu menyebabkan Mahram sebagaimana hubungan karena kelahiran.” (H.R. Muslim)
Lafadz Bukhari berbunyi;

Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang putri Hamzah: “Dia tidak halal bagiku karena apa yang diharamkan karena sepersusuan sama diharamkan karena keturunan sedangkan dia adalah putri dari saudaraku sepersusuan”.
(H.R.Bukhari)

Makna hadis di atas; semua wanita yang diharamkan karena hubungan kekerabatan nasab seperti ibu, putri, saudari, dan sebagainya maka hukum yang sama berlaku pada wanita yang memiliki hubungan kekerabatan karena persusuan. Aisyah dihitung Mahram bagi saudara Abu Al-Qu’ais karena istri Abu Al-Qu’ais pernah menyusui Aisyah, sehingga hubungan kekerabatan antara Aisyah dengan saudara Abu Al-Qu’ais adalah Aisyah menjadi putri saudara Abu ‘Al-Qu’ais karena persusuan. Bukhari meriwayatkan;

Dari Aisyah sesungguhnya Aflah saudara Abu Al Qu’ais pernah meminta izin untuk menemuiku setelah turun (ayat) hijab, maka aku berkata; “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkannya (masuk) sebelum aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena saudara Abu Al Qu’ais bukanlah orang yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah isterinya Abu Al-Qu’ais.” Beberapa saat kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, lalu aku berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya laki-laki itu bukanlah orang yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah isterinya, beliau bersabda: “Izinkanlah ia (masuk) karena dia adalah pamanmu, semoga kamu beruntung!.” (H.R. Bukhari)

Atas dasar ini, menikahi saudarinya istri saudara hukumnya mubah karena wanita tersebut tidak termasuk Mahram yang dilarang dinikahi dalam Islam. Wallahua’lam.

Sumber : http://www.suara-islam.com


0 Saran Dan Kritik:

Posting Komentar

loading...
 
© 2010-2015 Harian Islam Agama Ku
Desain by OTIN | Islam Agamaku | Powered by Harian Islam