Islam Agamaku - Kita pasti masih ingat dengan nama Susan
Jasmine Zulkilfli, lurah Lenteng Agung, yang ramai menjadi tranding topic pemberitaan karena dia sempat ditolak sekelompok
orang yang mengatasnamakan warga yang mayoritas muslim? Susan ditolak menjadi
lurah karena dia non-muslim.
Penolakan yang mirip juga dialami oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat dia diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sekelompok orang dari ormas Islam menolak habis-habisaan Ahok karena non muslim.
Sebenarnya seperti apakah pandangan Islam dalam melihat fenomena kepemimpinan non-muslim? Dalam buku Fiqih Kebinekaan terbitan Maarif Institut halaman 317 tentang 'Fiqih Kepemimpinan Non Muslim' tulisan Wawan Gunawan Abdul Wahid dikatakan persoalan kepemimpinan dalam fiqih diposisikan dalam klasifikasi fiqih politik.
Terdapat beberapa kriteria dan syarat pemimpin menurut para ulama. Pada masa pertengahan Islam, Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Khaldun menyebutkan lima syarat kepala negara yaitu memiliki pengetahuan yang luas, adil, mampu melaksanakan tugas dan kwajiban, sehat fisik dan memiliki pancaindra yang lengkap serta berasal dari keturunan quraisy (keturunan Nabi).
Gagasan ini terus berkembang dan ulama lainnya Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin terdapat dua, pertama orang yang kuat dan kedua orang yang amanah. Gagasan itu mengisyaratkan bahwa pemimpin non-muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin yang beragama Islam namun tidak mampu berlaku adil.
Hal tersebut berlaku dengan catatan, kalau pemimpin non-muslim tidak memusuhi umat Islam dan mau bersama-sama membangun dan memajukan wilayah yang dipimpinnya. Namun kalau pemimpin non-mulim ini dalam hatinya menyimpan rasa permusuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap kaum mulimin maka memilih mereka adalah haram hukumnya.
Jadi kalau terdapat pertanyaan siapa yang harus dipilih apakah pemimpin muslim yang tidak mampu memimpin atau pemimpin non-muslim yang mampu memimpin maka jawabannya lebih baik memang pemimpin muslim yang mampu memimpin, namun kalau kondisinya lain maka jawaban yang realistis adalah pimimpin non-muslim yang mampu memimpin.
"Memilih pemimpin non-muslim di tengah masyarakat muslim hukumnya dibolehkan. Hal ini berdasarkan rujukan dua hal, pertama masalah kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan absolut. Kedua larangan memilih pemimpin non-muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya, yakni manakala mereka melakukan penistaan terhadap umat Islam," tutur Wawan.
Di ujung tulisannya Wawan mengatakan dalam suatu masyarakat majemuk di mana umat Islam dan non-muslim bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa maka keduanya bisaa merajut hubungan harmonis.
Penolakan yang mirip juga dialami oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat dia diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sekelompok orang dari ormas Islam menolak habis-habisaan Ahok karena non muslim.
Sebenarnya seperti apakah pandangan Islam dalam melihat fenomena kepemimpinan non-muslim? Dalam buku Fiqih Kebinekaan terbitan Maarif Institut halaman 317 tentang 'Fiqih Kepemimpinan Non Muslim' tulisan Wawan Gunawan Abdul Wahid dikatakan persoalan kepemimpinan dalam fiqih diposisikan dalam klasifikasi fiqih politik.
Terdapat beberapa kriteria dan syarat pemimpin menurut para ulama. Pada masa pertengahan Islam, Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Khaldun menyebutkan lima syarat kepala negara yaitu memiliki pengetahuan yang luas, adil, mampu melaksanakan tugas dan kwajiban, sehat fisik dan memiliki pancaindra yang lengkap serta berasal dari keturunan quraisy (keturunan Nabi).
Gagasan ini terus berkembang dan ulama lainnya Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin terdapat dua, pertama orang yang kuat dan kedua orang yang amanah. Gagasan itu mengisyaratkan bahwa pemimpin non-muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin yang beragama Islam namun tidak mampu berlaku adil.
Hal tersebut berlaku dengan catatan, kalau pemimpin non-muslim tidak memusuhi umat Islam dan mau bersama-sama membangun dan memajukan wilayah yang dipimpinnya. Namun kalau pemimpin non-mulim ini dalam hatinya menyimpan rasa permusuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap kaum mulimin maka memilih mereka adalah haram hukumnya.
Jadi kalau terdapat pertanyaan siapa yang harus dipilih apakah pemimpin muslim yang tidak mampu memimpin atau pemimpin non-muslim yang mampu memimpin maka jawabannya lebih baik memang pemimpin muslim yang mampu memimpin, namun kalau kondisinya lain maka jawaban yang realistis adalah pimimpin non-muslim yang mampu memimpin.
"Memilih pemimpin non-muslim di tengah masyarakat muslim hukumnya dibolehkan. Hal ini berdasarkan rujukan dua hal, pertama masalah kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan absolut. Kedua larangan memilih pemimpin non-muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya, yakni manakala mereka melakukan penistaan terhadap umat Islam," tutur Wawan.
Di ujung tulisannya Wawan mengatakan dalam suatu masyarakat majemuk di mana umat Islam dan non-muslim bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa maka keduanya bisaa merajut hubungan harmonis.
sumber detik.com
0 Saran Dan Kritik:
Posting Komentar